MAKALAH PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA
BAB I
PENDAHULUAN
I.
LATAR
BELAKANG
Pendidikan
merupakan suatu usaha manusia untuk membina kepribadiannya agar sesuai
dengan norma-norma atau aturan di dalam masyarakat. Setiap orang dewasa di
dalam masyarakat dapat menjadi pendidik, sebab pendidik merupkan suatu
perbuatan sosial yang mendasar untuk petumbuhan atau perkembangan anak
didik menjadi manusia yang mampu berpikir dewasa dan bijak.
Orang tua sebagai lingkungan pertama dan utama dimana anak berinteraksi sebagai lembaga pendidikan yang tertua, artinya disinilah dimulai suatu proses pendidikan. Sehingga orang tua berperan sebagai pendidik bagi anak-anaknya. Lingkungan keluarga juga dikatakan lingkungan yang paling utama, karena sebagian besar kehidupan anak di dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah dalam keluarga. Menurut Hasbullah (1997), dalam tulisannya tentang dasar-dasar ilmu pendidikan, bahwa keluarga sebagai lembaga pendidikan memiliki beberapa fungsi yaitu fungsi dalam perkembangan kepribadian anak dan mendidik anak dirumah; fungsi keluarga/orang tua dalam mendukung pendidikan di sekolah.
Orang tua sebagai lingkungan pertama dan utama dimana anak berinteraksi sebagai lembaga pendidikan yang tertua, artinya disinilah dimulai suatu proses pendidikan. Sehingga orang tua berperan sebagai pendidik bagi anak-anaknya. Lingkungan keluarga juga dikatakan lingkungan yang paling utama, karena sebagian besar kehidupan anak di dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah dalam keluarga. Menurut Hasbullah (1997), dalam tulisannya tentang dasar-dasar ilmu pendidikan, bahwa keluarga sebagai lembaga pendidikan memiliki beberapa fungsi yaitu fungsi dalam perkembangan kepribadian anak dan mendidik anak dirumah; fungsi keluarga/orang tua dalam mendukung pendidikan di sekolah.
Kesalahan interaksi dalam keluarga yang
dikarenakan kurang optimalnya anggota keluarga dalam melaksanakan peran dan
fungsinya masing-masing dapat menimbulkan berbagai permasalahan dalam keluarga.
Pandangan konstruksi perkembangan percaya bahwa ketika individu itu tumbuh mereka
mendapatkan model berhubungan dengan orang lain. Ada dua variasi utama dalam
pandangan ini yang satu menekankan kontinuitas dan stabilitas dalam hubungan
(pandangan kontinuoitas) dan satu lagi berfokus pada diskontinuitas dan
perubahan dan hubungan (pandangan diskontinuitas). Bagi sebagian orang, peran
orang tua direncanakan dan dikoordinasikan dengan baik. Bagi orang lain, peran
orang tua datang sebagai kejutan. Ada banyak mitos tentang pengasuhan, termasuk
mitos bahwa kelahiran anak akan menyelamatkan perkawinan yang gagal. Tren yang
makin berkembang adalah memandang orang tua sebagai manajer atas kehidupan
anak.
II.
PERMASALAHAN
Seiring dengan perkembangan waktu ada beberapa yang berubah
dalam perannya. Sebagian penelitian menunjukan bahwa ibu yang bekerja diluar
rumah secara umum tidak memiliki efek yang buruk terhadap perkembangan anak.
Namun dalam keadan tertentu efek negatif dari ibu yang di bekerja ditemukan,
seperti ketika ibu bekerja lebih dari 30 jam pada tahun pertama kehidupan bayi.
Keluarga dalam keadaan bercerai menunjukan lebih banyak masalah penyesuaian
dibanding anak-anak dari keluarga yang tidak bercerai. Seperti keluarga yang
bercerai, anak-anak dalam keluarga tiri memiliki lebih banyak masalah
dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga utuh. Keluarga berpendapatan tinggi
lebih cenderung untuk menggunakan disiplin yang menimbulkan internalisasi;
keluarga berpendapatan rendah cenderung menggunakan disiplin yang mendorong
eksternalisasi. Dari berbagai permasalahan tersebut diatas maka tulisan ini
akan menjawab beberapa pertanyaan berikut :
1.
Bagaimana peranan keluarga dalam
perkembangan anak ?
2.
Bagaimana bentuk pola pengasuhan
keluarga dalam konteks perlindungan anak?
Tulisan
ini bertujuan untuk :
1.
Menggambarkan peranan keluarga dalam
perkembangan anak.
2.
Menggambarkan bentuk pola
pengasuhan keluarga dalam konteks perlindungan anak.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Pengasuhan
Pengasuhan
erat kaitannya dengan kemampuan suatu keluarga atau rumah tangga dan komunitas
dalam hal memberikan perhatian, waktu dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan
fisik, mental, dan sosial anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan serta
bagi anggota keluarga lainnya (Engel, 1997). Orangtua dalam pengasuhan memiliki
beberapa definisi yaitu ibu, ayah, atau seseorang yang akan membimbing dalam
kehidupan baru, seorang penjaga, maupun seorang pelindung. Orangtua adalah
seseorang yang mendampingi dan membimbing semua tahapan pertumbuhan anak, yang
merawat, melindungi, mengarahkan kehidupan baru anak dalam setiap tahapan
perkembangannya (Brooks, 2001).
Brooks
(2001) juga mendefinisikan pengasuhan sebagai sebuah proses yang merujuk pada
serangkaian aksi dan interaksi yang dilakukan orangtua untuk mendukung
perkembangan anak. Proses pengasuhan bukanlah sebuah hubungan satu arah yang
mana orangtua mempengaruhi anak namun lebih dari itu, pengasuhan merupakan
proses interaksi antara orangtua dan anak yang dipengaruhi oleh budaya dan
kelembagaan sosial dimana anak dibesarkan.
Pengasuhan merupakan proses
yang panjang, maka proses pengasuhan akan mencakup ;
1.) Interaksi antara anak, orang tua, dan
masyarakat lingkungannya.
2.) Penyesuaian kebutuhan hidup dan temperamen
anak dengan orang tuanya.
3.) Pemenuhan tanggung jawab untuk membesarkan
dan memenuhi kebutuhan anak.
4.) Proses mendukung dan menolak keberadaan anak
dan orang tua,
5.) Proses mengurangi resiko dan perlindungan
terhadap individu dan lingkungan sosialnya (Berns 1997).
Hoghughi (2004) menyebutkan bahwa
pengasuhan mencakup beragam aktifitas yang bertujuan agar anak dapat berkembang
secara optimal dan dapat bertahan hidup dengan baik. Prinsip pengasuhan menurut
Hoghughi tidak menekankan pada siapa (pelaku) namun lebih menekankan pada
aktifitas dari perkembangan dan pendidikan anak. Oleh karenanya pengasuhan
meliputi pengasuhan fisik, pengasuhan emosi dan pengasuhan sosial.
Beberapa
definisi tentang pengasuhan tersebut menunjukkan bahwa pengasuhan merupakan
sebuah proses interaksi yang terus menerus antara orangtua dengan anak yang
bertujuan untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal,
baik Secara fisik, mental maupun sosial, sebagai sebuah proses interaksi dan
sosialisasi yang tidak bisa dilepaskan dari sosial budaya dimana anak
dibesarkan.
B. Pola Asuh Orangtua
B.1. Definisi Pola Asuh
Orangtua
Pola asuh orangtua merupakan segala bentuk dan
proses interaksi yang terjadi antara orangtua dan anak yang merupakan pola
pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap
perkembangan kepribadian anak (Baumrind dalam Irmawati, 2002). Menurut Darling,
(1999), pola asuh adalah aktivitas kompleks yang melibatkan banyak perilaku
spesifik yang bekerja secara individual dan bersama-sama untuk mempengaruhi
anak.
Hubungan baik yang tercipta antara
anak dan orangtua akan menimbulkan perasaan aman dan kebahagiaan dalam diri
anak. Sebaliknya hubungan yang buruk akan mendatangkan akibat yang sangat buruk
pula, perasaan aman dan kebahagiaan yang seharusnya dirasakan anak tidak lagi
dapat terbentuk, anak akan mengalami trauma emosional yang kemudian dapat
ditampilkan anak dalam berbagai bentuk tingkah laku seperti menarik diri dari
lingkungan, bersedih hati, pemurung, dan sebagainya. Pola asuh orangtua merupakan
pola interaksi antara anak dengan orangtua bukan hanya pemenuhan kebutuhan
fisik (seperti makan, minum, dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti
rasa aman, kasih sayang, dan lain-lain), tetapi juga mengajarkan norma-norma
yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan
(Hurlock, 1994). Pola asuh adalah suatu cara orangtua menjalankan peranan yang
penting bagi perkembangan anak selanjutnya, dengan memberi bimbingan dan
pengalaman serta memberikan pengawasan agar anak dapat menghadapi kehidupan
yang akan datang dengan sukses, sebab di dalam keluarga yang merupakan kelompok
sosial dalam kehidupan individu, anak akan belajar dan menyatakan dirinya
sebagai manusia sosial dalam hubungan dan interaksi dengan kelompok (Meuler, 1987
dalam Iswantini, 2002).
Berdasarkan pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa pola asuh orangtua adalah cara yang dipakai oleh orangtua
dalam mendidik dan memberi bimbingan dan pengalaman serta memberikan pengawasan
kepada anak-anaknya
agar kelak menjadi orang yang berguna, serta tidak
hanya memenuhi kebutuhan fisik dan psikis melainkan juga menanamkan norma-norma
yang berlaku dalam masyarakat yang akan menjadi faktor penentu bagi
anak-anaknya dalam menginterpretasikan, menilai dan mendeskripsikan kemudian
memberikan tanggapan dan menentukan sikap maupun berperilaku.
B.2.
Dimensi pola asuh
Menurut (Baumrind, 1983) ada dua dimensi besar pola
asuh yang menjadi dasar dari kecenderungan jenis kegiatan pengasuhan anak,
yaitu :
a.
Responsiveness atau Responsifitas
Dimensi ini berkenaan dengan sikap orangtua yang penuh
kasih sayang, memahami dan berorientasi pada kebutuhan anak. Sikap hangat yang
ditunjukkan orangtua pada anak sangat berperan penting dalam proses sosialisasi
antara orangtua dengan anak. Diskusi sering terjadi pada keluarga yang
orangtuanya responsif terhadap anak – anak mereka, selain itu juga sering
terjadi proses memberi dan menerima secara verbal diantara kedua belah pihak.
Namun pada orangtua yang tidak responsif terhadap anak – anaknya, orangtua
bersikap membenci, menolak atau mengabaikan anak. Orangtua dengan sikap
tersebut sering menjadi penyebab timbulnya berbagai masalah yang dihadapi anak
seperti kesulitan akademis, ketidakseimbangan hubungan dengan orang dewasa dan
teman sebaya sampai dengan masalah delikuensi. Menurut (Baumrind, 1983 dalam Berk, 2000) responsiveness
atau responsifitas terdiri atas :
1) Clarity of communication (menuntut anak
berkomunikasi secara jelas), yaitu orangtua meminta pendapat anak yang disertai
alasan yang jelas ketika anak menuntut pemenuhan kebutuhannya, menunjukkan
kesadaran orangtua untuk medengarkan atau menampung pendapat, keinginan atau
keluhan anak, dan juga kesadaran orangtua dalam memberikan hukuman kepada anak
bila diperlukan.
2) Nurturance (upaya pengasuhan), yaitu orangtua
menunjukkan ekspresi kehangatan dan kasih sayang serta keterlibatan orangtua
terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan anak dan menunjukkan rasa bangga akan
prestasi yang diperoleh anak. Orangtua mampu mengekspresikan cinta dan kasih
sayang melalui tindakan dan sikap yang mengekspresikan kebanggaan dan rasa
senang atas keberhasilan yang dicapai anak-anaknya.
b. Demandingness atau tuntutan
Untuk mengarahkan perkembangan sosial
anak secara positif, kasih sayang dari orangtua belumlah cukup. Kontrol dari
orangtua dibutuhkan untuk mengembangkan anak agar anak menjadi individu yang
kompeten baik secara intelektual maupun sosial.
Menurut (Baumrind, 1983 dalam Berk, 2000) demandingness atau
tuntutan terdiri atas :
1) Demand for maturity (menuntut anak bersikap
dewasa), yaitu orangtua menekankan pada anak untuk mengoptimalkan kemampuannya
agar menjadi lebih dewasa dalam segala hal. Orangtua memberikan tekanan
terhadap anak untuk dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam aspek sosial, intelektual
dan emosional. Orangtua pun menuntut kemandirian yang meliputi pemberian
kesempatan kepada anak-anaknya untuk membuat keputusannya sendiri.
2) Control (kontrol), yaitu menunjukkan upaya
orangtua dalam menerapkan kedisiplinan pada anak sesuai dengan patokan orangtua
yang kaku yang sudah di buat sebelumnya. Orangtua juga terlihat berusaha untuk
membatasi kebebasan, inisiatif dan tingkah laku anaknya. Orangtua memiliki
kemampuan untuk menahan tekanan dari anak, dan konsisten dalam menjalankan
aturan. Mengontrol tindakan didefinisikan sebagai upaya orangtua untuk memodifikasi ekspresi ketergantungan
anak, agresivitas atau perilaku bermain di samping untuk meningkatkan
internalisasi anak terhadap standar yang dimiliki orangtua terhadap anak.
B.3.
Gaya Pola Asuh Orangtua
Gaya pola asuh adalah kumpulan dari sikap, praktek dan
ekspresi nonverbal orangtua yang bercirikan kealamian dari interaksi orangtua
kepada anak sepanjang situasi yang berkembang (Darling & Steinberg, 1999).
Gaya konseptual pola asuh Baumrind didasarkan pada pendekatan tipologis pada
studi praktek sosialisasi keluarga. Pendekatan ini berfokus pada konfigurasi
dari praktek pola asuh yang berbeda dan asumsi bahwa akibat dari salah satu
praktek tersebut tergantung sebagian pada pengaturan kesemuanya. Variasi dari
konfigurasi elemen utama pola asuh (seperti kehangatan, keterlibatan, tuntutan
kematangan, dan
supervisi) menghasilkan variasi dalam bagaimana seorang anak merespon pengaruh
orangtua. Dari perspektif ini, gaya pola asuh dipandang sebagai karakteristik
orangtua yang membedakan keefektifan dari praktek sosialisasi keluarga dan
penerimaan anak pada praktek tersebut (Darling & Steinberg, 1999).
Tipologi gaya pola asuh Baumrind (1971) mengidentifikasi tiga
pola yang berbeda secara kualitatif pada otoritas orangtua, yaitu authoritarian
parenting, authoritative parenting dan permissive parenting.
Menurut (Baumrind, 1971 dalam Berk, 2000), ada tiga tipe pola asuh orangtua:
a.
Pola
asuh authoritarian,
yaitu pola asuh yang penuh pembatasan dan hukuman (kekerasan) dengan cara
orangtua memaksakan kehendaknya, sehingga orangtua dengan pola asuh authoritarian
memegang kendali penuh dalam mengontrol anak-anaknya. Authoritarian mengandung
demanding dan unresponsive. Yang dicirikan dengan orangtua yang
selalu menuntut anak tanpa memberi kesempatan pada anak untuk mengemukakan
pendapatnya, tanpa disertai dengan komunikasi terbuka antara orangtua dan anak
juga kehangatan dari orangtua. Pola asuh authoritarian ditandai dengan
ciri-ciri sikap orangtua yang kaku dan keras dalam menerapkan
peraturan-peraturan maupun disiplin. Orangtua bersikap memaksa dengan selalu
menuntut kepatuhan anak, agar bertingkah laku seperti yang dikehendaki oleh
orangtuanya. Karena orangtua tidak mempunyai pegangan mengenai cara bagaimana
mereka harus mendidik, maka timbul berbagai sikap orangtua yang mendidik
menurut apa yang dinggap terbaik oleh mereka sendiri, diantaranya adalah dengan
hukuman dan sikap acuh tak acuh, sikap ini dapat menimbulkan ketegangan dan
ketidak nyamanan, sehingga memungkinkan kericuhan di dalam rumah (Baumrind,
1971 dalam Berk, 2000). Menurut Stewart dan Koch (1983), orangtua yang
menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri sebagai berikut:
1.) Kaku
2) Tegas
3.) Suka menghukum
4.) Kurang ada kasih sayang serta
simpatik
5.) Orangtua memaksa anak-anak untuk
patuh pada nilai-nilai mereka, serta mencoba membentuk lingkah laku sesuai
dengan yang orangtua inginkan serta cenderung mengekang keinginan anak
6.) Orangtua tidak mendorong serta
memberi kesempatan kepada anak untuk mandiri dan jarang memberi pujian
7.) Hak anak dibatasi tetapi dituntut
tanggung jawab seperti anak dewasa.
b.
Pola
asuh authoritative,
yaitu pola asuh yang memberikan dorongan pada anak untuk mandiri namun tetap
menerapkan berbagai batasan yang akan mengontrol perilaku mereka. Adanya saling
memberi dan saling menerima, mendengarkan dan didengarkan. Pola ini lebih
memusatkan perhatian pada aspek pendidikan daripada aspek hukuman, orangtua
memberikan peraturan yang luas serta memberikan penjelasan tentang sebab
diberikannya hukuman serta imbalan tersebut. Authoritative mengandung demanding
dan responsive dicirikan dengan adanya tuntutan dari orang tua yang
disertai dengan komunikasi terbuka antara orangtua dan anak, mengharapkan
kematangan perilaku pada anak disertai dengan adanya kehangatan dari orangtua.
Jadi penerapan pola asuh authoritatif dapat memberikan keleluasaan anak untuk
menyampaikan segala persoalan yang dialaminya tanpa ada perasaan takut,
keleluasaan yang diberikan orangtua tidak bersifat mutlak akan tetapi adanya
kontrol dan pembatasan berdasarkan norma-norma yang ada (Baumrind, 1971 dalam
Berk, 2000). Menurut Stewart dan Koch (1983) menyatakan ciri-cirinya adalah:
1.) Bahwa orangtua yang demokratis
memandang sama kewajiban dan hak antara orangtua dan anak.
2.) Secara bertahap orangtua
memberikan tanggung jawab bagi anak-anaknya terhadap segala sesuatu yang
diperbuatnya sampai mereka menjadi dewasa.
3.) Mereka selalu berdialog dengan
anak-anaknya, saling memberi dan menerima, selalu mendengarkan keluhan-keluhan
dan pendapat anak-anaknya.
4.) Dalam bertindak, mereka selalu
memberikan alasannya kepada anak, mendorong anak saling membantu dan bertindak
secara obyektif, tegas tetapi hangat dan penuh pengertian.
c.
Pola
asuh permissive,
yaitu pola asuh yang menekankan pada ekspresi diri dan regulasi diri anak.
Mengizinkan anak untuk memonitor aktivitas mereka sendiri sebanyak mungkin
tanapa adanya batasan dari orangtua (Baumrind,
1989 dalam Papalia, 2008). Maccoby
dan Martin (dalam Santrock, 2002) membagi pola asuh ini menjadi dua:
neglectful parenting dan indulgent parenting. Pola asuh yang neglectful yaitu
bila orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak (tidak peduli). Pola
asuh ini menghasilkan anak-anak yang kurang memiliki kompetensi sosial terutama
karena adanya kecenderungan kontrol diri yang kurang. Pola asuh yang indulgent
yaitu bila orangtua sangat terlibat dalam kehidupan anak, namun hanya
memberikan kontrol dan tuntutan yang sangat minim (selalu menuruti atau terlalu membebaskan) sehingga dapat
mengakibatkan kompetensi sosial yang tidak adekuat karena umumnya anak kurang mampu untuk melakukan kontrol diri
dan menggunakan kebebasannya tanpa rasa tanggung jawab serta memaksakan
kehendaknya. Permissive mengandung undemanding dan unresponsive
(Baumrind, 1971 dalam Berk, 2000). Dicirikan dengan orangtua yang
bersikap mengabaikan dan lebih mengutamakan kebutuhan dan keinginan orangtua
daripada kebutuhan dan keinginan anak, tidak adanya tuntutan larangan ataupun
komunikasi terbuka antara orangtua dan anak. Hurlock (1994) mengatakan bahwa
pola asuhan permisif bercirikan :
1.) Adanya kontrol yang kurang
2.) Orangtua bersikap longgar atau
bebas
3.)
Bimbingan terhadap anak kurang.
B.4.Faktor–faktor
yang mempengaruhi pola asuh orangtua
Adapun
faktor yang mempengaruhi pola asuh anak adalah (Edwards, 2006):
a.
Pendidikan orangtua
Pendidikan dan pengalaman orangtua dalam perawatan
anak akan mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada beberapa
cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran
pengasuhan antara lain: terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati
segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya
menyediakan waktu untuk anak-anak dan menilai perkembangan fungsi keluarga dan
kepercayaan anak (Edwards, 2006). Latar belakang pendidikan orangtua, informasi
yang didapat oleh orangtua tentang cara mengasuh anak, kultur budaya, kondisi lingkungan
sosial, ekonomi akan mempengaruhi bagaimana orangtua memberikan pengasuhan pada
anak-anak mereka (Winengan, 2007). Orangtua yang sudah mempunyai pengalaman
sebelumnya dalam mengasuh anak akan lebih siap menjalankan peran asuh, selain
itu orangtua akan lebih mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan
perkembangan yang normal (Supartini, 2004).
b.
Lingkungan
Faktor sosial, ekonomi, lingkungan, budaya dan
pendidikan memberikan kontribusi pada kualitas pengasuhan orangtua (Zevalkinki,
2007). Pengasuhan merupakan proses yang panjang, maka proses pengasuhan akan
mencakup 1) interaksi antara anak, orang tua, dan masyarakat lingkungannya, 2)
penyesuaian kebutuhan
hidup dan temperamen anak dengan orang tuanya, 3) pemenuhan tanggung jawab
untuk membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak, 4) proses mendukung dan menolak
keberadaan anak dan orang tua, serta 5) proses mengurangi resiko dan
perlindungan tehadap individu dan lingkungan sosialnya (Berns 1997). Lingkungan
banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak mustahil jika lingkungan juga
ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orangtua terhadap
anaknya (Edwards, 2006).
Sering kali orangtua mengikuti
cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan
masyarakat disekitarnya dalam mengasuh anak, karena pola-pola tersebut dianggap
berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan (Edwards, 2006). Orangtua
mengharapkan kelak anaknya dapat diterima dimasyarakat dengan baik, oleh karena
itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh anak juga mempengaruhi
setiap orangtua dalam memberikan pola asuh terhadap anaknya (Anwar,2000).
Budaya yang ada di dalam suatu
komunitas menyediakan seperangkat keyakinan, yang mencakup (a) pentingnya pengasuhan;
(b) peran anggota keluarga (c) tujuan pengasuhan; (d) metode yang digunakan
dalam penerapan disiplin kepada anak; dan (e) peran anak di dalam
masyarakat(Brooks, 2001). Oleh karenanya, bila budaya yang ada mengandung
seperangkat keyakinan yang dapat melindungi perkembangan anak, maka nilai-nilai
pengasuhan yang diperoleh orangtua kemungkinan juga akan berdampak positif
terhadap perkembangan anak. Sebaliknya, bila ternyata seperangkat keyakinan
yang ada dalam budaya masyarakat setempat
justru memperbesar munculnya faktor resiko maka nilai-nilai pengasuhan yang
diperoleh orangtua pun akan menyebabkan perkembangan yang negatif pada anak
(Suhartono, 2007).
BAB III
PEMBAHASAN
Gaya Pengasuhan Ibu dan Ayah
Berbeda
Orangtua
mungkin tidak menyadari, sebenarnya gaya pengasuhan antara ayah dan ibu
berbeda. Hal ini dikarenakan, pada dasarnya gender laki-laki dan perempuan
berbeda, baik dalam pola kehidupan, latar belakang maupun pekerjaannya.
Perbedaan pada gaya ayah dan ibu sangat wajar, mengingat pada bapak-bapak,
secara fisik memang lebih kuat dari ibu-ibu. Selain itu, secara umum
bapak-bapak adalah breadwinners (pencari nafkah, Red.) dalam keluarga.
Namun begitu, keduanya tetap harus sinergis dalam membangun kehidupan anak.
ayah dan ibu tetap memiliki peranan yang sama besarnya dalam membangun anak.
Kalau ayah lebih kepada membangun visi dan misi, dan menumuhkan kompetensi dan
percaya diri. Ibu lebih kepada memberikan kasih sayang, sentuhan, memeluk,
memberikan contoh kasih sayang, ataupun mengajak anak ngobrol (Verauli, 2012).
Secara umum, ayah dan ibu memiliki peran yang sama dalam pengasuhan
anak-anaknya. Namun ada sedikit perbedaan sentuhan dari apa yang ditampilkan
oleh ayah dan ibu (Verauli, 2009).
a. Peran ibu
1. Menumbuhkan perasaan mencintai dan mengasihi
pada anak melalui interaksi yang jauh melibatkan sentuhan fisik dan kasih
sayang.
2. Menumbuhkan
kemampuan berbahasa pada anak melalui kegiatan-kegiatan bercerita dan
mendongeng, serta melalui kegiatan yang lebih dekat dengan anak, yakni
berbicara dari hati ke hati kepada anak.
3. Mengajarkan
tentang peran jenis kelamin perempuan, tentang bagaimana harus bertindak
sebagai perempuan, dan apa yang diharapkan oleh lingkungan sosial dari seorang
perempuan.
b. Peran
ayah
1. Menumbuhkan
rasa percaya diri dan kompeten pada anak melalui kegiatan bermain yang lebih
kasar dan melibatkan fisik baik di dalam maupun di luar ruang.
2. Menumbuhkan
kebutuhan akan hasrat berprestasi pada anak melalui kegiatan mengenalkan anak
tentang berbagai kisah tentang cita-cita.
3. Mengajarkan
tentang peran jenis kelamin laki-laki, tentang bagaimana harus bertindak
sebagai laki-laki, dan apa yang diharapkan oleh lingkungan sosial dari
laki-laki.
Peran orangtua dalam pengasuhan anak berubah seiring
pertumbuhan dan perkembangan anak. Karenanya, diharapkan orangtua bisa memahami
fase-fase perkembangan anak dan mengimbanginya. Menurut pakar psikologi
perkembangan Jean Piaget, anak perlu melakukan aksi tertentu atas lingkungannya
untuk dapat mengembangkan cara pandang yang kompleks dan cerdas atas setiap
pengalamannya. Sudah menjadi tugas orangtua untuk memberi anak pengalaman yang
dibutuhkan anak agar kecerdasannya berkembang sempurna (Verauli, 2009). Erik Erikson (dalam Verauli, 2012) selaku
pelopor dunia psikologi anak juga menegaskan bahwa cinta seorang ayah dan kasih
seorang ibu berbeda secara kualitatif. Berikut ini keterlibatan seorang ayah
membuat perbedaan positif dalam kehidupan anak:
1. Gaya
komunikasi berbeda
Ayah memiliki gaya komunikasi berbeda. Anak akan lebih
berpengalaman, lebih luas interaksi relasional.
2. Gaya
bermain berbeda
Ayah mengajarkan melempar, menggelitik, menendang, bergulat
untuk pengendalian diri.
3. Membangun rasa percaya diri
Meski gaya pengasuhan sendiri dapat membahayakan tubuh, namun
ayah mengambil risiko untuk membangun kemandirian dan kepercayaan diri.
Sementara anak tetap aman namun memperluas pengalaman dan meningkatkan
kepercayaan diri mereka.
4. Gaya
disiplin unik
Ayah cenderung mengamati dan menegakkan aturan secara
sistematis dan tegas. mengajar anak-anak konsekuensi dari benar dan salah.
5.
Persiapkan anak untuk dunia nyata
Ayah terlibat membantu anak menyikapi perilaku. Misalnya ayah
lebih mungkin dibandingkan ibu untuk memberitahu anak-anak tentang persiapan
realitas dan kerasnya dunia.
Masing-masing orangtua tentu saja memiliki pola asuh
tersendiri dalam mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruh oleh
latar belakang pendidikan orangtua, mata pencaharian hidup, keadaan sosial
ekonomi, adat istiadat, dan sebagainya. Dengan kata lain, pola asuh orangtua
petani tidak sama dengan pedagang. Demikian pula pola asuh orangtua
berpendidikan rendah berbeda dengan pola asuh orangtua yang berpendidikan
tinggi. Ada yang menerapkan dengan pola yang keras/kejam, kasar, dan tidak
berperasaan. Namun, ada pula yang memakai pola lemah lembut, dan kasih sayang.
Ada pula yang memakai sistem militer, yang apabila anaknya bersalah akan
langsung diberi hukuman dan tindakan tegas yang biasa disebut pola otoriter
(Clemes, 2001).
Kedekatan hubungan ibu dan anak sama pentignya dengan ayah
dan anak walaupun secara kodrati akan ada perbedaan. Didalam rumah tangga ayah
dapat melibatkan dirinya melakukan peran pengasuhan kepada anaknya. Seorang
ayah tidak saja bertanggung jawab dalam memberikan nafkah tetapi dapat pula
bekerja sama dengan ibu dalam melakuan perawatan anak. Gaya pengasuhan anak
merupakan seluruh interaksi antara subjek dan objek berupa bimbingan,
pengarahan dan pengawasan terhadap aktivitas objek sehari-hari yang berlangsung
secara rutin sehingga membentuk suatu pola dan merupakan usaha yang diarahkan
untuk mengubah tingkah laku sesuai dengan keinginan si
pendidik atau pengasuh. Peran ibu adalah sebagai pelindung dan pengasuh.
Seorang ibu, tua maupun muda, kaya atau miskin secara naluriah tahu tentang
garis-garis besar dan fungsinya sehari-hari dalam keluarga. Ibu adalah pendidik
pertama dan utama dalam keluarga, khususnya bagi anak-anak yang berusia dini.
Oleh karena itu
keterlibatan
ibu dalam mengasuh dan membesarkan anak sejak masih bayi dapat membawa pengaruh
positif maupun negatif bagi perkembangan anak di masa yang akan datang (Berk,
2000).
Praktek Pengasuhan Pada
Anak-anak Akhir
Orangtua
dari anak yang berprestasi menciptakan lingkungan untuk belajar. Mereka
menyediakan tempat untuk belajar, menyimpan buku serta berbagai peralatan,
mereka menentukan waktu makan, tidur, dan pekerjaan rumah, mereka memonitor
seberapa banyak acara televisi yang ditonton anak mereka dan apa yang dilakukan
anak mereka setelah sekolah dan mereka menunjukkan ketertarikan kepada
kehidupan anak mereka dengan berbincang-bincang tentang sekolah dan terlibat
dalam aktivitas sekolah (Cooper dkk, 1998 dalam Papalia, 2008) .
Orangtua
memotivasi anaknya dengan cara ekstrinsik maupun intrinsik. Orangtua yang
menggunakan cara ekstrinsik yaitu dengan cara memberikan uang atau barang
apabila sang anak mendapatkan peringkat yang bagus atau menghukumnya apabila
peringkat sang anak buruk. Orangtua yang menggunakan cara intrinsik yaitu
dengan cara memuji kemampuan ataukerja keras mereka. Motivasi intrinsik akan
lebih efektif untuk pembelajaran sang anak (Miserandino, 1996 dalam Papalia,
2008).
Gaya
pengasuhan akan mempengaruhi motivasi. Dalam sebuah studi penelitian anak kelas
lima, hasil menunjukkan bahwa orangtua otoritarian, selalu mengurung
anak agar mengerjakan pekerjaan rumah mereka, mengawasi dengan ketat, dan
menyandarkan diiri kepada motivasi ekstrinsik cendrung memiliki anak
berprestasi rendah. Begitu pula dengan orangtua yang permissive yang
lepas tangan tidak tampak peduli dengan yang dilakukan sang anak di sekolah.
Orangtua yang autoritative cendrung memiliki anak yang bersikap terbuka
pada orangtuanya, orangtua memberikan kesempatan bagi anak-anaknya namun tidak
lepas dari pengawasan (Bronstein & Ginsburg, 1996 dalam Papalia, 2008).
BAB IV
PENUTUP
4.1.
KESIMPULAN
Keluarga
merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang posisi strategis bagi perkembangan
kepribadian anak. keluarga yang ideal akan membentuk pribadi-pribadi anak-anak
yang ideal pula dan pada akhirnya anak-anak yang ideal akan mewujudkan
masa depan masyarakat dan Negara yang ideal juga. Perwujudan kesejahteraan
keluarga tidak terlepas dari pelaksanaan fungsi-fungsi keluarga yaitu dalam
suatu keluarga diharapkan ada suatu keharmonisan, hubungan yang penuh kemesraan
dan kasih sayang yang merupakan dambaan setiap orang. Keharmonisan tersebut
akan diperlihatkan melalui jalinan relasi baik yang bersifat fisik maupun
relasi psikis.
Pengasuhan
(parenting) keluarga pada anak-anak memerlukan sejumlah kemampuan
interpersonal dan mempunyai tuntutan emosional yang besar, namun sangat sedikit
pendidikan formal mengenai tugas ini. Kebanyakan orang tua mempelajari praktek
pengasuhan dari orang tua mereka sendiri. Sebagian praktik tersebut mereka
terima, namun sebagian lagi mereka tinggalkan. Suami dan istri mungkin saja
membawa pandangan yang berbeda mengenai pengasuhan ke dalam pernikahan.
4.2.
SARAN
1.
Pengasuhan dalam keluarga tidak
boleh di abaikan atau berjalan seadanya, namun pengasuhan adalah tugas utama
didalam hidup berumah tangga dan jangan sampai kesibukan pekerjaan melupakan
tugas pengasuhan.
2.
Konflik perkawinan, berbagai bentuk
kekerasan, dan penggunaan hukuman harus dihindari dalam proses pengasuhan
terhadap anak.
3.
Pemerintah, diharapkan dapat membuat
kebijakan yang ketat berupa perumusan undang-undang dalam hal pengasuhan
keluarga pada anaknya karena apabila pengasuhan anak baik, maka akan tumbuh
menjadi manusia yang baik dan berprestasi serta akan memajukan negara di masa
mendatang.
Sosialisasi pentingnya pola
pengasuhan keluarga terhadap anak harus terus dilakukan Baik oleh pemerintah
maupun lembaga swadaya masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar