Pages

Sabtu, 06 Juni 2015

MAKALAH PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA


MAKALAH PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA



BAB I
PENDAHULUAN

I.                  LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan suatu usaha manusia untuk membina  kepribadiannya agar sesuai dengan norma-norma atau aturan di dalam masyarakat. Setiap orang dewasa di dalam masyarakat dapat menjadi pendidik, sebab pendidik merupkan suatu perbuatan sosial yang mendasar untuk petumbuhan atau perkembangan  anak didik menjadi manusia yang mampu berpikir dewasa dan bijak.
Orang tua sebagai lingkungan pertama dan utama dimana anak berinteraksi sebagai lembaga pendidikan yang tertua, artinya disinilah dimulai suatu proses pendidikan.  Sehingga orang tua berperan sebagai pendidik bagi anak-anaknya. Lingkungan keluarga juga dikatakan lingkungan yang paling utama, karena sebagian besar kehidupan anak di dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah dalam keluarga. Menurut Hasbullah (1997), dalam tulisannya tentang dasar-dasar ilmu pendidikan, bahwa keluarga sebagai lembaga pendidikan memiliki beberapa fungsi yaitu fungsi dalam perkembangan kepribadian anak  dan  mendidik anak dirumah; fungsi keluarga/orang tua dalam mendukung pendidikan di sekolah.
 Kesalahan interaksi dalam keluarga yang dikarenakan kurang optimalnya anggota keluarga dalam melaksanakan peran dan fungsinya masing-masing dapat menimbulkan berbagai permasalahan dalam keluarga. Pandangan konstruksi perkembangan percaya bahwa ketika individu itu tumbuh mereka mendapatkan model berhubungan dengan orang lain. Ada dua variasi utama dalam pandangan ini yang satu menekankan kontinuitas dan stabilitas dalam hubungan (pandangan kontinuoitas) dan satu lagi berfokus pada diskontinuitas dan perubahan dan hubungan (pandangan diskontinuitas). Bagi sebagian orang, peran orang tua direncanakan dan dikoordinasikan dengan baik. Bagi orang lain, peran orang tua datang sebagai kejutan. Ada banyak mitos tentang pengasuhan, termasuk mitos bahwa kelahiran anak akan menyelamatkan perkawinan yang gagal. Tren yang makin berkembang adalah memandang orang tua sebagai manajer atas kehidupan anak.



II.                  PERMASALAHAN
Seiring dengan perkembangan waktu ada beberapa yang berubah dalam perannya. Sebagian penelitian menunjukan bahwa ibu yang bekerja diluar rumah secara umum tidak memiliki efek yang buruk terhadap perkembangan anak. Namun dalam keadan tertentu efek negatif dari ibu yang di bekerja ditemukan, seperti ketika ibu bekerja lebih dari 30 jam pada tahun pertama kehidupan bayi. Keluarga dalam keadaan bercerai menunjukan lebih banyak masalah penyesuaian dibanding anak-anak dari keluarga yang tidak bercerai. Seperti keluarga yang bercerai, anak-anak dalam keluarga tiri memiliki lebih banyak masalah dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga utuh. Keluarga berpendapatan tinggi lebih cenderung untuk menggunakan disiplin yang menimbulkan internalisasi; keluarga berpendapatan rendah cenderung menggunakan disiplin yang mendorong eksternalisasi. Dari berbagai permasalahan tersebut diatas maka tulisan ini akan menjawab beberapa pertanyaan berikut :
1.     Bagaimana peranan keluarga dalam perkembangan anak ?
2.     Bagaimana bentuk pola pengasuhan keluarga dalam konteks perlindungan anak?

  III.   TUJUAN PENULISAN
Tulisan ini bertujuan untuk :
1.     Menggambarkan peranan keluarga dalam perkembangan anak.
2.     Menggambarkan  bentuk pola pengasuhan keluarga dalam konteks perlindungan anak.


BAB II
LANDASAN TEORI


A.    Pengasuhan

Pengasuhan erat kaitannya dengan kemampuan suatu keluarga atau rumah tangga dan komunitas dalam hal memberikan perhatian, waktu dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan sosial anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan serta bagi anggota keluarga lainnya (Engel, 1997). Orangtua dalam pengasuhan memiliki beberapa definisi yaitu ibu, ayah, atau seseorang yang akan membimbing dalam kehidupan baru, seorang penjaga, maupun seorang pelindung. Orangtua adalah seseorang yang mendampingi dan membimbing semua tahapan pertumbuhan anak, yang merawat, melindungi, mengarahkan kehidupan baru anak dalam setiap tahapan perkembangannya (Brooks, 2001).
Brooks (2001) juga mendefinisikan pengasuhan sebagai sebuah proses yang merujuk pada serangkaian aksi dan interaksi yang dilakukan orangtua untuk mendukung perkembangan anak. Proses pengasuhan bukanlah sebuah hubungan satu arah yang mana orangtua mempengaruhi anak namun lebih dari itu, pengasuhan merupakan proses interaksi antara orangtua dan anak yang dipengaruhi oleh budaya dan kelembagaan sosial dimana anak dibesarkan.
Pengasuhan merupakan proses yang panjang, maka proses pengasuhan akan mencakup ;

1.)  Interaksi antara anak, orang tua, dan masyarakat lingkungannya.
2.)  Penyesuaian kebutuhan hidup dan temperamen anak dengan orang tuanya.
3.)  Pemenuhan tanggung jawab untuk membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak.
4.)  Proses mendukung dan menolak keberadaan anak dan orang tua,
5.)  Proses mengurangi resiko dan perlindungan terhadap individu dan lingkungan sosialnya (Berns 1997).

Hoghughi (2004) menyebutkan bahwa pengasuhan mencakup beragam aktifitas yang bertujuan agar anak dapat berkembang secara optimal dan dapat bertahan hidup dengan baik. Prinsip pengasuhan menurut Hoghughi tidak menekankan pada siapa (pelaku) namun lebih menekankan pada aktifitas dari perkembangan dan pendidikan anak. Oleh karenanya pengasuhan meliputi pengasuhan fisik, pengasuhan emosi dan pengasuhan sosial.
Beberapa definisi tentang pengasuhan tersebut menunjukkan bahwa pengasuhan merupakan sebuah proses interaksi yang terus menerus antara orangtua dengan anak yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal, baik Secara fisik, mental maupun sosial, sebagai sebuah proses interaksi dan sosialisasi yang tidak bisa dilepaskan dari sosial budaya dimana anak dibesarkan.





        B.   Pola Asuh Orangtua
B.1. Definisi Pola Asuh Orangtua
 Pola asuh orangtua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara orangtua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak (Baumrind dalam Irmawati, 2002). Menurut Darling, (1999), pola asuh adalah aktivitas kompleks yang melibatkan banyak perilaku spesifik yang bekerja secara individual dan bersama-sama untuk mempengaruhi anak.
Hubungan baik yang tercipta antara anak dan orangtua akan menimbulkan perasaan aman dan kebahagiaan dalam diri anak. Sebaliknya hubungan yang buruk akan mendatangkan akibat yang sangat buruk pula, perasaan aman dan kebahagiaan yang seharusnya dirasakan anak tidak lagi dapat terbentuk, anak akan mengalami trauma emosional yang kemudian dapat ditampilkan anak dalam berbagai bentuk tingkah laku seperti menarik diri dari lingkungan, bersedih hati, pemurung, dan sebagainya. Pola asuh orangtua merupakan pola interaksi antara anak dengan orangtua bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum, dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang, dan lain-lain), tetapi juga mengajarkan norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan (Hurlock, 1994). Pola asuh adalah suatu cara orangtua menjalankan peranan yang penting bagi perkembangan anak selanjutnya, dengan memberi bimbingan dan pengalaman serta memberikan pengawasan agar anak dapat menghadapi kehidupan yang akan datang dengan sukses, sebab di dalam keluarga yang merupakan kelompok sosial dalam kehidupan individu, anak akan belajar dan menyatakan dirinya sebagai manusia sosial dalam hubungan dan interaksi dengan kelompok (Meuler, 1987 dalam Iswantini, 2002).

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh orangtua adalah cara yang dipakai oleh orangtua dalam mendidik dan memberi bimbingan dan pengalaman serta memberikan pengawasan kepada anak-anaknya
agar kelak menjadi orang yang berguna, serta tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik dan psikis melainkan juga menanamkan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat yang akan menjadi faktor penentu bagi anak-anaknya dalam menginterpretasikan, menilai dan mendeskripsikan kemudian memberikan tanggapan dan menentukan sikap maupun berperilaku. 


B.2. Dimensi pola asuh
Menurut (Baumrind, 1983) ada dua dimensi besar pola asuh yang menjadi dasar dari kecenderungan jenis kegiatan pengasuhan anak, yaitu :

 a. Responsiveness atau Responsifitas
Dimensi ini berkenaan dengan sikap orangtua yang penuh kasih sayang, memahami dan berorientasi pada kebutuhan anak. Sikap hangat yang ditunjukkan orangtua pada anak sangat berperan penting dalam proses sosialisasi antara orangtua dengan anak. Diskusi sering terjadi pada keluarga yang orangtuanya responsif terhadap anak – anak mereka, selain itu juga sering terjadi proses memberi dan menerima secara verbal diantara kedua belah pihak. Namun pada orangtua yang tidak responsif terhadap anak – anaknya, orangtua bersikap membenci, menolak atau mengabaikan anak. Orangtua dengan sikap tersebut sering menjadi penyebab timbulnya berbagai masalah yang dihadapi anak seperti kesulitan akademis, ketidakseimbangan hubungan dengan orang dewasa dan teman sebaya sampai dengan masalah delikuensi. Menurut (Baumrind, 1983 dalam Berk, 2000) responsiveness atau responsifitas terdiri atas :
1) Clarity of communication (menuntut anak berkomunikasi secara jelas), yaitu orangtua meminta pendapat anak yang disertai alasan yang jelas ketika anak menuntut pemenuhan kebutuhannya, menunjukkan kesadaran orangtua untuk medengarkan atau menampung pendapat, keinginan atau keluhan anak, dan juga kesadaran orangtua dalam memberikan hukuman kepada anak bila diperlukan.
2) Nurturance (upaya pengasuhan), yaitu orangtua menunjukkan ekspresi kehangatan dan kasih sayang serta keterlibatan orangtua terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan anak dan menunjukkan rasa bangga akan prestasi yang diperoleh anak. Orangtua mampu mengekspresikan cinta dan kasih sayang melalui tindakan dan sikap yang mengekspresikan kebanggaan dan rasa senang atas keberhasilan yang dicapai anak-anaknya.


b. Demandingness atau tuntutan
Untuk mengarahkan perkembangan sosial anak secara positif, kasih sayang dari orangtua belumlah cukup. Kontrol dari orangtua dibutuhkan untuk mengembangkan anak agar anak menjadi individu yang kompeten baik secara intelektual maupun sosial.
Menurut (Baumrind, 1983 dalam Berk, 2000) demandingness atau tuntutan terdiri atas :

1) Demand for maturity (menuntut anak bersikap dewasa), yaitu orangtua menekankan pada anak untuk mengoptimalkan kemampuannya agar menjadi lebih dewasa dalam segala hal. Orangtua memberikan tekanan terhadap anak untuk dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam aspek sosial, intelektual dan emosional. Orangtua pun menuntut kemandirian yang meliputi pemberian kesempatan kepada anak-anaknya untuk membuat keputusannya sendiri.
2) Control (kontrol), yaitu menunjukkan upaya orangtua dalam menerapkan kedisiplinan pada anak sesuai dengan patokan orangtua yang kaku yang sudah di buat sebelumnya. Orangtua juga terlihat berusaha untuk membatasi kebebasan, inisiatif dan tingkah laku anaknya. Orangtua memiliki kemampuan untuk menahan tekanan dari anak, dan konsisten dalam menjalankan aturan. Mengontrol tindakan didefinisikan sebagai upaya orangtua untuk memodifikasi ekspresi ketergantungan anak, agresivitas atau perilaku bermain di samping untuk meningkatkan internalisasi anak terhadap standar yang dimiliki orangtua terhadap anak.



B.3. Gaya Pola Asuh Orangtua
Gaya pola asuh adalah kumpulan dari sikap, praktek dan ekspresi nonverbal orangtua yang bercirikan kealamian dari interaksi orangtua kepada anak sepanjang situasi yang berkembang (Darling & Steinberg, 1999). Gaya konseptual pola asuh Baumrind didasarkan pada pendekatan tipologis pada studi praktek sosialisasi keluarga. Pendekatan ini berfokus pada konfigurasi dari praktek pola asuh yang berbeda dan asumsi bahwa akibat dari salah satu praktek tersebut tergantung sebagian pada pengaturan kesemuanya. Variasi dari konfigurasi elemen utama pola asuh (seperti kehangatan, keterlibatan, tuntutan kematangan, dan supervisi) menghasilkan variasi dalam bagaimana seorang anak merespon pengaruh orangtua. Dari perspektif ini, gaya pola asuh dipandang sebagai karakteristik orangtua yang membedakan keefektifan dari praktek sosialisasi keluarga dan penerimaan anak pada praktek tersebut (Darling & Steinberg, 1999).
Tipologi gaya pola asuh Baumrind (1971) mengidentifikasi tiga pola yang berbeda secara kualitatif pada otoritas orangtua, yaitu authoritarian parenting, authoritative parenting dan permissive parenting. Menurut (Baumrind, 1971 dalam Berk, 2000), ada tiga tipe pola asuh orangtua:

a.      Pola asuh authoritarian, yaitu pola asuh yang penuh pembatasan dan hukuman (kekerasan) dengan cara orangtua memaksakan kehendaknya, sehingga orangtua dengan pola asuh authoritarian memegang kendali penuh dalam mengontrol anak-anaknya. Authoritarian mengandung demanding dan unresponsive. Yang dicirikan dengan orangtua yang selalu menuntut anak tanpa memberi kesempatan pada anak untuk mengemukakan pendapatnya, tanpa disertai dengan komunikasi terbuka antara orangtua dan anak juga kehangatan dari orangtua. Pola asuh authoritarian ditandai dengan ciri-ciri sikap orangtua yang kaku dan keras dalam menerapkan peraturan-peraturan maupun disiplin. Orangtua bersikap memaksa dengan selalu menuntut kepatuhan anak, agar bertingkah laku seperti yang dikehendaki oleh orangtuanya. Karena orangtua tidak mempunyai pegangan mengenai cara bagaimana mereka harus mendidik, maka timbul berbagai sikap orangtua yang mendidik menurut apa yang dinggap terbaik oleh mereka sendiri, diantaranya adalah dengan hukuman dan sikap acuh tak acuh, sikap ini dapat menimbulkan ketegangan dan ketidak nyamanan, sehingga memungkinkan kericuhan di dalam rumah (Baumrind, 1971 dalam Berk, 2000). Menurut Stewart dan Koch (1983), orangtua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri sebagai berikut:
1.) Kaku
2) Tegas
3.) Suka menghukum
4.) Kurang ada kasih sayang serta simpatik
 5.) Orangtua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, serta mencoba membentuk lingkah laku sesuai dengan yang orangtua inginkan serta cenderung mengekang keinginan anak
6.) Orangtua tidak mendorong serta memberi kesempatan kepada anak untuk mandiri dan jarang memberi pujian
7.) Hak anak dibatasi tetapi dituntut tanggung jawab seperti anak dewasa.

 
b.      Pola asuh authoritative, yaitu pola asuh yang memberikan dorongan pada anak untuk mandiri namun tetap menerapkan berbagai batasan yang akan mengontrol perilaku mereka. Adanya saling memberi dan saling menerima, mendengarkan dan didengarkan. Pola ini lebih memusatkan perhatian pada aspek pendidikan daripada aspek hukuman, orangtua memberikan peraturan yang luas serta memberikan penjelasan tentang sebab diberikannya hukuman serta imbalan tersebut. Authoritative mengandung demanding dan responsive dicirikan dengan adanya tuntutan dari orang tua yang disertai dengan komunikasi terbuka antara orangtua dan anak, mengharapkan kematangan perilaku pada anak disertai dengan adanya kehangatan dari orangtua. Jadi penerapan pola asuh authoritatif dapat memberikan keleluasaan anak untuk menyampaikan segala persoalan yang dialaminya tanpa ada perasaan takut, keleluasaan yang diberikan orangtua tidak bersifat mutlak akan tetapi adanya kontrol dan pembatasan berdasarkan norma-norma yang ada (Baumrind, 1971 dalam Berk, 2000). Menurut Stewart dan Koch (1983) menyatakan ciri-cirinya adalah:
1.) Bahwa orangtua yang demokratis memandang sama kewajiban dan hak antara orangtua dan anak.
2.) Secara bertahap orangtua memberikan tanggung jawab bagi anak-anaknya terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka menjadi dewasa.
3.) Mereka selalu berdialog dengan anak-anaknya, saling memberi dan menerima, selalu mendengarkan keluhan-keluhan dan pendapat anak-anaknya.
4.) Dalam bertindak, mereka selalu memberikan alasannya kepada anak, mendorong anak saling membantu dan bertindak secara obyektif, tegas tetapi hangat dan penuh pengertian.

c.      Pola asuh permissive, yaitu pola asuh yang menekankan pada ekspresi diri dan regulasi diri anak. Mengizinkan anak untuk memonitor aktivitas mereka sendiri sebanyak mungkin tanapa adanya batasan dari orangtua (Baumrind, 1989 dalam Papalia, 2008). Maccoby dan Martin (dalam Santrock, 2002) membagi pola asuh ini menjadi dua: neglectful parenting dan indulgent parenting. Pola asuh yang neglectful yaitu bila orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak (tidak peduli). Pola asuh ini menghasilkan anak-anak yang kurang memiliki kompetensi sosial terutama karena adanya kecenderungan kontrol diri yang kurang. Pola asuh yang indulgent yaitu bila orangtua sangat terlibat dalam kehidupan anak, namun hanya memberikan kontrol dan tuntutan yang sangat minim (selalu menuruti atau terlalu membebaskan) sehingga dapat mengakibatkan kompetensi sosial yang tidak adekuat karena umumnya anak kurang mampu untuk melakukan kontrol diri dan menggunakan kebebasannya tanpa rasa tanggung jawab serta memaksakan kehendaknya. Permissive mengandung undemanding dan unresponsive (Baumrind, 1971 dalam Berk, 2000). Dicirikan dengan orangtua yang bersikap mengabaikan dan lebih mengutamakan kebutuhan dan keinginan orangtua daripada kebutuhan dan keinginan anak, tidak adanya tuntutan larangan ataupun komunikasi terbuka antara orangtua dan anak. Hurlock (1994) mengatakan bahwa pola asuhan permisif bercirikan :
1.) Adanya kontrol yang kurang
2.) Orangtua bersikap longgar atau bebas
3.) Bimbingan terhadap anak kurang.


B.4.Faktor–faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua
Adapun faktor yang mempengaruhi pola asuh anak adalah (Edwards, 2006):
 a. Pendidikan orangtua
Pendidikan dan pengalaman orangtua dalam perawatan anak akan mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan antara lain: terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-anak dan menilai perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak (Edwards, 2006). Latar belakang pendidikan orangtua, informasi yang didapat oleh orangtua tentang cara mengasuh anak, kultur budaya, kondisi lingkungan sosial, ekonomi akan mempengaruhi bagaimana orangtua memberikan pengasuhan pada anak-anak mereka (Winengan, 2007). Orangtua yang sudah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak akan lebih siap menjalankan peran asuh, selain itu orangtua akan lebih mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal (Supartini, 2004).

b. Lingkungan
Faktor sosial, ekonomi, lingkungan, budaya dan pendidikan memberikan kontribusi pada kualitas pengasuhan orangtua (Zevalkinki, 2007). Pengasuhan merupakan proses yang panjang, maka proses pengasuhan akan mencakup 1) interaksi antara anak, orang tua, dan masyarakat lingkungannya, 2) penyesuaian kebutuhan hidup dan temperamen anak dengan orang tuanya, 3) pemenuhan tanggung jawab untuk membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak, 4) proses mendukung dan menolak keberadaan anak dan orang tua, serta 5) proses mengurangi resiko dan perlindungan tehadap individu dan lingkungan sosialnya (Berns 1997). Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak mustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orangtua terhadap anaknya (Edwards, 2006).

 C.      Budaya
Sering kali orangtua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam mengasuh anak, karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan (Edwards, 2006). Orangtua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima dimasyarakat dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orangtua dalam memberikan pola asuh terhadap anaknya (Anwar,2000).
Budaya yang ada di dalam suatu komunitas menyediakan seperangkat keyakinan, yang mencakup (a) pentingnya pengasuhan; (b) peran anggota keluarga (c) tujuan pengasuhan; (d) metode yang digunakan dalam penerapan disiplin kepada anak; dan (e) peran anak di dalam masyarakat(Brooks, 2001). Oleh karenanya, bila budaya yang ada mengandung seperangkat keyakinan yang dapat melindungi perkembangan anak, maka nilai-nilai pengasuhan yang diperoleh orangtua kemungkinan juga akan berdampak positif terhadap perkembangan anak. Sebaliknya, bila ternyata seperangkat keyakinan yang ada dalam budaya masyarakat setempat justru memperbesar munculnya faktor resiko maka nilai-nilai pengasuhan yang diperoleh orangtua pun akan menyebabkan perkembangan yang negatif pada anak (Suhartono, 2007).




BAB III
PEMBAHASAN

Gaya Pengasuhan Ibu dan Ayah Berbeda

Orangtua mungkin tidak menyadari, sebenarnya gaya pengasuhan antara ayah dan ibu berbeda. Hal ini dikarenakan, pada dasarnya gender laki-laki dan perempuan berbeda, baik dalam pola kehidupan, latar belakang maupun pekerjaannya. Perbedaan pada gaya ayah dan ibu sangat wajar, mengingat pada bapak-bapak, secara fisik memang lebih kuat dari ibu-ibu. Selain itu, secara umum bapak-bapak adalah breadwinners (pencari nafkah, Red.) dalam keluarga. Namun begitu, keduanya tetap harus sinergis dalam membangun kehidupan anak. ayah dan ibu tetap memiliki peranan yang sama besarnya dalam membangun anak. Kalau ayah lebih kepada membangun visi dan misi, dan menumuhkan kompetensi dan percaya diri. Ibu lebih kepada memberikan kasih sayang, sentuhan, memeluk, memberikan contoh kasih sayang, ataupun mengajak anak ngobrol (Verauli, 2012). Secara umum, ayah dan ibu memiliki peran yang sama dalam pengasuhan anak-anaknya. Namun ada sedikit perbedaan sentuhan dari apa yang ditampilkan oleh ayah dan ibu (Verauli, 2009).

a. Peran ibu
1.  Menumbuhkan perasaan mencintai dan mengasihi pada anak melalui interaksi yang jauh melibatkan sentuhan fisik dan kasih sayang.
2. Menumbuhkan kemampuan berbahasa pada anak melalui kegiatan-kegiatan bercerita dan mendongeng, serta melalui kegiatan yang lebih dekat dengan anak, yakni berbicara dari hati ke hati kepada anak.
3. Mengajarkan tentang peran jenis kelamin perempuan, tentang bagaimana harus bertindak sebagai perempuan, dan apa yang diharapkan oleh lingkungan sosial dari seorang perempuan.

b. Peran ayah
1. Menumbuhkan rasa percaya diri dan kompeten pada anak melalui kegiatan bermain yang lebih kasar dan melibatkan fisik baik di dalam maupun di luar ruang.
2. Menumbuhkan kebutuhan akan hasrat berprestasi pada anak melalui kegiatan mengenalkan anak tentang berbagai kisah tentang cita-cita.
3. Mengajarkan tentang peran jenis kelamin laki-laki, tentang bagaimana harus bertindak sebagai laki-laki, dan apa yang diharapkan oleh lingkungan sosial dari laki-laki.

Peran orangtua dalam pengasuhan anak berubah seiring pertumbuhan dan perkembangan anak. Karenanya, diharapkan orangtua bisa memahami fase-fase perkembangan anak dan mengimbanginya. Menurut pakar psikologi perkembangan Jean Piaget, anak perlu melakukan aksi tertentu atas lingkungannya untuk dapat mengembangkan cara pandang yang kompleks dan cerdas atas setiap pengalamannya. Sudah menjadi tugas orangtua untuk memberi anak pengalaman yang dibutuhkan anak agar kecerdasannya berkembang sempurna (Verauli, 2009).  Erik Erikson (dalam Verauli, 2012) selaku pelopor dunia psikologi anak juga menegaskan bahwa cinta seorang ayah dan kasih seorang ibu berbeda secara kualitatif. Berikut ini keterlibatan seorang ayah membuat perbedaan positif dalam kehidupan anak:

1. Gaya komunikasi berbeda
Ayah memiliki gaya komunikasi berbeda. Anak akan lebih berpengalaman, lebih luas interaksi relasional.

2. Gaya bermain berbeda
Ayah mengajarkan melempar, menggelitik, menendang, bergulat untuk pengendalian diri.

 3. Membangun rasa percaya diri
Meski gaya pengasuhan sendiri dapat membahayakan tubuh, namun ayah mengambil risiko untuk membangun kemandirian dan kepercayaan diri. Sementara anak tetap aman namun memperluas pengalaman dan meningkatkan kepercayaan diri mereka.

4. Gaya disiplin unik
Ayah cenderung mengamati dan menegakkan aturan secara sistematis dan tegas. mengajar anak-anak konsekuensi dari benar dan salah.

5. Persiapkan anak untuk dunia nyata
Ayah terlibat membantu anak menyikapi perilaku. Misalnya ayah lebih mungkin dibandingkan ibu untuk memberitahu anak-anak tentang persiapan realitas dan kerasnya dunia.


Masing-masing orangtua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruh oleh latar belakang pendidikan orangtua, mata pencaharian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat, dan sebagainya. Dengan kata lain, pola asuh orangtua petani tidak sama dengan pedagang. Demikian pula pola asuh orangtua berpendidikan rendah berbeda dengan pola asuh orangtua yang berpendidikan tinggi. Ada yang menerapkan dengan pola yang keras/kejam, kasar, dan tidak berperasaan. Namun, ada pula yang memakai pola lemah lembut, dan kasih sayang. Ada pula yang memakai sistem militer, yang apabila anaknya bersalah akan langsung diberi hukuman dan tindakan tegas yang biasa disebut pola otoriter (Clemes, 2001).
Kedekatan hubungan ibu dan anak sama pentignya dengan ayah dan anak walaupun secara kodrati akan ada perbedaan. Didalam rumah tangga ayah dapat melibatkan dirinya melakukan peran pengasuhan kepada anaknya. Seorang ayah tidak saja bertanggung jawab dalam memberikan nafkah tetapi dapat pula bekerja sama dengan ibu dalam melakuan perawatan anak. Gaya pengasuhan anak merupakan seluruh interaksi antara subjek dan objek berupa bimbingan, pengarahan dan pengawasan terhadap aktivitas objek sehari-hari yang berlangsung secara rutin sehingga membentuk suatu pola dan merupakan usaha yang diarahkan untuk mengubah tingkah laku sesuai dengan keinginan si pendidik atau pengasuh. Peran ibu adalah sebagai pelindung dan pengasuh. Seorang ibu, tua maupun muda, kaya atau miskin secara naluriah tahu tentang garis-garis besar dan fungsinya sehari-hari dalam keluarga. Ibu adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga, khususnya bagi anak-anak yang berusia dini. Oleh karena itu


keterlibatan ibu dalam mengasuh dan membesarkan anak sejak masih bayi dapat membawa pengaruh positif maupun negatif bagi perkembangan anak di masa yang akan datang (Berk, 2000).

Praktek Pengasuhan Pada Anak-anak Akhir
Orangtua dari anak yang berprestasi menciptakan lingkungan untuk belajar. Mereka menyediakan tempat untuk belajar, menyimpan buku serta berbagai peralatan, mereka menentukan waktu makan, tidur, dan pekerjaan rumah, mereka memonitor seberapa banyak acara televisi yang ditonton anak mereka dan apa yang dilakukan anak mereka setelah sekolah dan mereka menunjukkan ketertarikan kepada kehidupan anak mereka dengan berbincang-bincang tentang sekolah dan terlibat dalam aktivitas sekolah (Cooper dkk, 1998 dalam Papalia, 2008) .
Orangtua memotivasi anaknya dengan cara ekstrinsik maupun intrinsik. Orangtua yang menggunakan cara ekstrinsik yaitu dengan cara memberikan uang atau barang apabila sang anak mendapatkan peringkat yang bagus atau menghukumnya apabila peringkat sang anak buruk. Orangtua yang menggunakan cara intrinsik yaitu dengan cara memuji kemampuan ataukerja keras mereka. Motivasi intrinsik akan lebih efektif untuk pembelajaran sang anak (Miserandino, 1996 dalam Papalia, 2008).
Gaya pengasuhan akan mempengaruhi motivasi. Dalam sebuah studi penelitian anak kelas lima, hasil menunjukkan bahwa orangtua otoritarian, selalu mengurung anak agar mengerjakan pekerjaan rumah mereka, mengawasi dengan ketat, dan menyandarkan diiri kepada motivasi ekstrinsik cendrung memiliki anak berprestasi rendah. Begitu pula dengan orangtua yang permissive yang lepas tangan tidak tampak peduli dengan yang dilakukan sang anak di sekolah. Orangtua yang autoritative cendrung memiliki anak yang bersikap terbuka pada orangtuanya, orangtua memberikan kesempatan bagi anak-anaknya namun tidak lepas dari pengawasan (Bronstein & Ginsburg, 1996 dalam Papalia, 2008).




BAB IV
PENUTUP

4.1. KESIMPULAN
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang posisi strategis bagi perkembangan kepribadian anak. keluarga yang ideal akan membentuk pribadi-pribadi anak-anak yang ideal pula dan pada akhirnya anak-anak yang ideal akan mewujudkan  masa depan masyarakat dan Negara yang ideal juga. Perwujudan kesejahteraan keluarga tidak terlepas dari pelaksanaan fungsi-fungsi keluarga yaitu dalam suatu keluarga diharapkan ada suatu keharmonisan, hubungan yang penuh kemesraan dan kasih sayang yang merupakan dambaan setiap orang. Keharmonisan tersebut akan diperlihatkan melalui jalinan relasi baik yang bersifat fisik maupun relasi psikis. 
Pengasuhan (parenting) keluarga pada anak-anak memerlukan sejumlah kemampuan interpersonal dan mempunyai tuntutan emosional yang besar, namun sangat sedikit pendidikan formal mengenai tugas ini. Kebanyakan orang tua mempelajari praktek pengasuhan dari orang tua mereka sendiri. Sebagian praktik tersebut mereka terima, namun sebagian lagi mereka tinggalkan. Suami dan istri mungkin saja membawa pandangan yang berbeda mengenai pengasuhan ke dalam pernikahan.

4.2. SARAN
1.      Pengasuhan dalam keluarga tidak boleh di abaikan atau berjalan seadanya, namun pengasuhan adalah tugas utama didalam hidup berumah tangga dan jangan sampai kesibukan pekerjaan melupakan tugas pengasuhan.
2.      Konflik perkawinan, berbagai bentuk kekerasan, dan penggunaan hukuman harus dihindari dalam proses pengasuhan terhadap anak.
3.      Pemerintah, diharapkan dapat membuat kebijakan yang ketat  berupa perumusan undang-undang dalam hal pengasuhan keluarga pada anaknya karena apabila pengasuhan anak baik, maka akan tumbuh menjadi manusia yang baik dan berprestasi serta akan memajukan negara di masa mendatang.
Sosialisasi pentingnya pola pengasuhan keluarga terhadap anak harus terus dilakukan Baik oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat.